Detil Artikel

Kolaborasi BILiC dan UNPAD tertuang dalam kanal media UNPAD

Home Detil Artikel

Kolaborasi BILiC dan UNPAD tertuang dalam kanal media UNPAD

Image

Menggali Perspektif dan Evaluasi Kondisi Aktual Aksesibilitas Kampus

Suasana seminar dan workshop “Inklusivitas dan Audit Aksesibilitas Unpad” yang diselenggarakan oleh Universitas Padjadjaran di Bale Sawala, Gedung Rektorat Unpad Jatinangor pada Senin, 21 Juli 2025. (Foto oleh: Dadan Triawan)*

 

[Kanal Media Unpad] Seminar dan workshop “Inklusivitas dan Audit Aksesibilitas Unpad” yang diselenggarakan oleh Universitas Padjadjaran di Bale Sawala, Gedung Rektorat Unpad Jatinangor pada Senin, 21 Juli 2025, menjadi ruang strategis untuk menggali perspektif, menyusun langkah konkret, serta mengevaluasi kondisi aktual aksesibilitas kampus. Kegiatan ini juga menjadi bagian dari upaya berkelanjutan Unpad dalam mewujudkan kampus yang ramah, setara, dan inklusif bagi seluruh sivitas akademika. Kegiatan seminar dibuka dengan paparan dari Zulhamka Julianto Kadir, Direktur Bandung Independent Living Center (BILiC), yang menekankan pentingnya membangun budaya inklusi di lingkungan pendidikan tinggi. Zulhamka menggarisbawahi bahwa kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang hidup yang harus dapat diakses dan mendukung semua individu tanpa diskriminasi, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. “Aspek-aspek seperti penerimaan mahasiswa baru, jangkauan pelajaran, isi dan media pembelajaran, serta kemampuan peserta didik akan membutuhkan penyesuaian. Penilaian pembelajaran pun harus disesuaikan. Jadi bukan hanya sekadar menjalankan kewajiban formal, tetapi memastikan bahwa seluruh aspek benar-benar mendukung inklusivitas,” papar Zulhamka melalui materinya yang berjudul “Kampus Inklusif dan Perspektif Masyarakat Disabilitas”. Zulhamka menyebut bahwa secara sistematis regulasi dan dukungan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pendanaan, dan jalur pendidikan telah tersedia. Namun, tantangan berikutnya adalah bagaimana kebijakan tersebut dapat segera dieksekusi secara nyata agar lebih banyak individu penyandang disabilitas dapat mengakses pendidikan tinggi dan meraih prestasi, yang kemudian membuka peluang untuk berkontribusi di sektor formal. Lebih lanjut, Zulhamka mengapresiasi langkah Unpad yang mulai membuka proses kebijakan dan regulasi yang berpihak kepada kelompok disabilitas. Zulhamka menilai bahwa Unpad telah menjadi contoh baik dalam memulai proses menuju kampus inklusif. Menurutnya, inisiatif ini merupakan langkah awal yang penting dalam membangun lingkungan pendidikan tinggi yang setara dan berkeadilan bagi semua. “Unpad sudah memiliki ULD (Unit Layanan Disabilitas), salah satu langkah yang harus diapresiasi karena belum ada di banyak kampus. Ini adalah salah satu contoh adanya pelibatan langsung kelompok atau lembaga disabilitas dengan Unpad. Unpad sudah menjadi salah satu contoh yang baik, yang sudah mau mulai berproses,” jelas Zulhamka.

Sementara itu,Ratna Suryana selaku Pembina Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia memaparkan materi berjudul “Menilik Akses bagi Masyarakat Disabilitas di Negara Serumpun Malaysia”. Dalam paparannya, Ratna membandingkan kebijakan dan praktik aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di Malaysia dengan kondisi di Indonesia, serta mendorong pentingnya kolaborasi regional dalam mewujudkan masyarakat yang inklusif dan setara bagi semua kalangan, termasuk perempuan penyandang disabilitas. “Secara garis besar, pengertian dari Orang Kurang Upaya (OKU atau penyebutan disabilitas di Malaysia) tidak jauh beda dengan yang tercantum di undang-undang penyandang disabilitas yang ada di Indonesia. Di Malaysia itu dibagi menjadi tujuh ragam disabilitas, sedangkan sesuai UU di Indonesia ada empat,” jelas Ratna. Menurut Ratna, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap keberadaan dan kebutuhan penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-hari masih tergolong rendah. Ratna mencontohkan kondisi di Malaysia, di mana masyarakat terbiasa memberikan prioritas kepada penyandang disabilitas, seperti didahulukan saat menggunakan lift. Praktik sederhana seperti ini mencerminkan bahwa Malaysia telah menanamkan budaya inklusi, sesuatu yang masih perlu ditingkatkan di Indonesia. Meskipun begitu, Ratna tetap mengapresiasi upaya Indonesia dalam menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas di ruang-ruang publik. Ratna menyebutkan bahwa di beberapa tempat umum di Indonesia sudah tersedia informasi dalam bentuk visual dan suara untuk memudahkan penyandang disabilitas dalam mengakses layanan publik. Selain itu beberapa fasilitas transportasi umum, seperti MRT, sudah mendukung aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Ratna juga menyoroti pentingnya peran aktif institusi pendidikan tinggi, seperti Unpad, dalam mewujudkan lingkungan kampus yang inklusif. Menurut Ratna, komitmen menerima mahasiswa disabilitas harus diiringi dengan kesiapan infrastruktur, kurikulum, serta sumber daya manusia yang memahami kebutuhan khusus mereka. “Ketika sebuah universitas sudah menyatakan menerima mahasiswa disabilitas, maka kita harus memastikan apa saja yang dibutuhkan oleh peserta didik disabilitas atau mahasiswa disabilitas. Kalau kita hanya bicara menerima mahasiswa disabilitas tanpa melengkapi apa yang menjadi kebutuhan dari mahasiswa tersebut, itu belum cukup,” pungkas Ratna. Melalui kegiatan ini, Unpad menunjukkan komitmennya dalam membangun kampus yang inklusif dan ramah disabilitas. Unpad berupaya untuk terus meningkatkan fasilitas dan layanan yang mendukung terciptanya lingkungan kampus yang inklusif bagi seluruh sivitas akademika, termasuk penyandang disabilitas.*


Silakan mencantumkan tautan/membuat hyperlink https://www.unpad.ac.id/2025/07/menggali-perspektif-dan-evaluasi-kondisi-aktual-aksesibilitas-kampus/ apabila mengutip konten berita ini.

https://www.unpad.ac.id/2025/07/menggali-perspektif-dan-evaluasi-kondisi-aktual-aksesibilitas-kampus/?fbclid=PAQ0xDSwLxUOpleHRuA2FlbQIxMQABp-BWBUv4DO8_3BynELq6QLgqDRFoCSuXUU_wT9V38UMB23SkECM_ZfO1Mf-E_aem_hdDojHvBtXQYjyREDVRRRg