Paradigma Keliru tentang Penyandang Disabilitas
Negara-negara maju telah menempatkan para penyandang disabilitas secara baik sesuai hak-haknya. Sehingga tak lagi terjadi perbedaan hak dengan non penyandang disabilitas secara signifikan.
Sementara di negara-negara berkembang yang terjadi sebaliknya. Masih banyak orang memandang keliru terhadap anak-anak penyandang disabilitas sehingga paradigma itu terus berkembang menjadi hal yang merugikan mereka.
Hal tersebut disampaikan Dr. Munawar Yusuf, M.Pd., dosen FKIP dan Psikologi Universitas Sebelas Maret sekaligus Tim Pengembang Pendidikan Inklusif di Kemendikbud dan Kemenristek Dikti dalam paparannya di depan peserta Sosisalisasi Pendidikan Inklusi bagi Kepala Sekolah Dasar dan Madrasah se Kabupaten Banyumas bebrapa waktu yang lalu di Purwokerto.
Menurut Ketua Forum Pendidikan Inklusif Jawa Tengah itu, paradigma kita terhadap para penyandang disabilitas selama ini masih keliru. Setidaknya ada lima kekeliruan masyarakat terhadap mereka, antara lain:
Pertama, anak-anak penyandang disabilitas dianggap sebagai obyek belas kasihan. Memang mereka adalah individu yang harus dikasihani karena dianggap memiliki kekurangan baik secara fisik maupun mental. Akibat dari rasa kasihan itu akhirnya ada niat untuk membantu. Mengedepankan rasa iba, kasihan terhadap mereka menyebabkan mereka tergerak untuk melakukan sesuatu bagi para penyandang disabilitas. Ini adalah hal yang baik namun konsepnya yang keliru.
Ketika kita tergerak untuk membantu mestinya bukan karena rasa kasihan, melainkan memang karena hak yang harus diperoleh mereka. Dua hal yang seharusnya dibedakan saat kita melakukan tindakan untuk membantu mereka. Bukan karena belas kasih tetapi mestinya lebih mengedapankan kesadaran kita bahwa mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara yang harus diperlakukan dengan baik.
Sebagai contoh, jika kita menyediakan toilet khusus yang didesain sedemikian rupa untuk mereka yang cacat fisik. Semestinya bukan karena kita kasihan, melainkan itu karena hak yang harus mereka peroleh. Maka pemerintah maupun masyarakta wajib menyediakan kebutuhan mereka sesuai dengan standar yang dibutuhkan sebagai hak mereka.
Kedua, anak-anak penyandang disabilitas dianggap sebagai bahan lelucon. Banyak orang memandang penyandang disabilitas sebagai bahan leucon dan bahan tertawaan. Banyak hal yang sering menjadi bahan tertawaan kita saat menyaksikan mereka yang tampak lucu. Anak-anak yang gagap dalam bicara, tunarungu, tunanetra, atau tunagrahita, sering menjadi bahan tertawaan kita saat mereka melakukan sesuatu.
Tidak sedikit orang yang menirukan mereka yang bicara gagap untuk bercanda atau sekadar hiburan. Demikian kekurangan lain pun sering dijadikan bahan untuk tertawa dan lelucon. Padahal mereka adalah idividu yang memiliki hak untuk dihormati da disamakan kedudukannya.
Ketiga, penyandang disabilitas sering dipekerjakan atau dikomersilkan. Barangkali kita ingat saat banyak orang yang memiliki ukuran tubuh mini atau mungil, kemudian digunakan untuk kepentingan promosi sebuah produk. Perusahaan, produsen, seringkali memanfaatkan orang-orang berkebutuhan khusus untuk kepentingan mempromosikan barang produksinya agar terkenal dan laku di pasaran.
Meskipun kita tahu bahwa dengan dipekerjakannya mereka akan mendapat imbalan jasa. Namun menjadi kurang benar saat mereka dipekerjaan untuk tujuan keuntungan perusahaan. Selain itu sepanjang ini juga para penyandang disabilitas digunakan untuk mencari uang. Seorang tunanetra dituntun di lampu merah dengan membawa tongkat dan wadah tertentu guna mengharap belas kasih dengan cara meminta uang kepada para pengguna jalan. Anak-anak yang cacat secara fisik banyak digunakan oleh orang-orang yang sehat untuk mendapatkan uang.
Bahkan disinyalir banyak diantara mereka yang sengaja ditempatkan di keramaian untuk mencari uang oleh bos mereka. Ini sangat keterlaluan. Disabilitas menjadi sangat rendah ketika sudah dijadikan individu penghasil uang.
Keempat, mereka dianggap individu yang sakit dan perlu disembuhkan (medikal model). Penyandang disabilitas dipandang sebagai individu yang sakit sehingga harus diobati sampai mereka menjadi individu yang sehat seperti individu lainnya.
Maknanya bahwa mereka dipandang sebagai penderita yang perlu penangan khusus secara medis, bukan perlu perlakuan khusus sebagai orang yang memiliki keterbatasan. Padahal perlu diketahui bahwa mereka bukanlah penderita suatu penyakit tertentu melainkan penyandang keterbatasan baik fisik maupun mental. Pandangan yang keliru tersebut menjadikan mereka belum dapat diterima sebagaimana adanya karena dipandang sebagai individu yang berbeda dengan individu yang sempurna pada umumnya.
Hal itu menjadi kurang selaras dengan pengertian disabilitas yang diartikan sebagai individu yang memiliki kemampuan baik fisik, mental, ataupun keduanya yang berbeda daripada kebanyakan orang. Jadi itu bukan kekurangan yang menjadikan dirinya harus dikelompokkan atau dikucilkan dari kebanyakan orang. Padahal fakta yang ada, banyak orang yang tidak memiliki tangan sehingga untuk menulis dirinya memakai kaki. Dan apa yang dilakukan mereka bahkan kadang lebih baik daripada orang yang sempurna sekalipun. Ini adalah kemampuan yg berbeda daripada orang lain umumnya.
Contoh lain adalah seseorang yang tak memiliki tangan akibat satu dan lain hal, namun ternyata ia mampu mengerjakan apa saja yang biasa dilakukan orang yang memiliki dua tangan sepurna. Bahkan hasilnya lebih baik daripada kita. Itu membuktikan bahwa makna disabilitas adalah perbedaan kemampuan, bukan kekurangan. Kelima, penyandang disabilitas sering dijadikan sebagai individu yang berbeda dalam hal sosial (sosial model). Penyandang disabilitas dianggap individu yang berbeda di lingkungan sosialnya dimana dalam tataran sosial akan diberikan kotak tersendiri dan dipandang sebagai kelompok berbeda dalam makna negatif atau direndahkan. Kekeliruan ini sungguh sebagai tindakan yang tak manusiawi.
Mereka dilayani sebab dianggap memiliki tataran sosial yang lebih rendah yang perlu dibantu, bukan karena kesamaan hak. Maka beberapa perlakuan yang diberikan kepada mereka selama ini semata-mata bertujuan untuk menjadikan mereka dapat bersosialisasi terhadap lingkungan sekitarnya. Padahal seharusnya lingkunganlah yang semestinya disesuaikan dengan kondisi mereka jika kita ingin manusiawikan mereka. Dengan melihat kenyataan yang ada selama ini maka kita dapat menyimpulkan bahwa masih banyak kekeliruan kita dalam memandang para penyandang disabilitas.
Mereka dianggap sebagai individu yang harus dibantu, dikasihani, karena dianggap memiliki keterbatasan. Padahal seharusnya kita memberikan pelayanan dan perhatian kepada mereka karena hak mereka. (Riyadi - Pendidik di SDN Pangebatan, Karanglewas Banyumas, Penulis buku Kita Guru yang Dinanti, Pegiat literasi di KOMPAK. Foto: Fuji Rachman) Sila bagikan artikel ini:.
Sumber: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=249900345